Pendahuluan
Sebagai negara berkembang, peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan telah berdampak pada peningkatan usia harapan hidup (UHH) masyarakat Indonesia, sehingga terjadi perubahan proporsi penduduk lansia. Hasil sensus penduduk yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2000, UHH di Indonesia mencapai 67 tahun dari populasi lansia yang diperkirakan 17 juta orang. Pada tahun 2020, jumlah penduduk lansia Indonesia diproyeksikan mencapai 28 juta orang dengan UHH 71 tahun (Depsos, 2008). Peningkatan ini berdampak pada meningkatnya masalah kesehatan terutama kejadian penyakit kronis dan degeneratif, sehingga kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan jangka panjang dan berkesinambungan menjadi meningkat.
Pada lansia juga terjadi perubahan fungsi fisiologis yang mencakup menurunnya fungsi sistem pencernaan, kardiovaskular, pernapasan, saraf, sistem endokrin, fungsi ginjal, dan lainnya. Selain itu perubahan juga terjadi dalam beberapa proses pada tubuh meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, eskresi, dan respon tubuh terhadap intake obat (Harman, 1990). Batasan usia lanjut didasarkan atas Undang-Undang No.13 Tahun 1998 adalah 60 tahun. Namun, berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam program kesehatan Usia Lanjut, Departemen Kesehatan (DepKes) membuat pengelompokan sebagai berikut:
- Kelompok Pertengahan Umur (45-54 tahun) Kelompok usia dalam masa virilitas (masa yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa).
- Kelompok Usia Lanjut Dini (55-64 tahun) Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut.
- Kelompok Usia Lanjut (65 tahun ke atas) Kelompok dalam masa senium.
- Kelompok Usia Lanjut dengan Resiko Tinggi (Lebih dari 70 tahun) Kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.
Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia meliputi:
- Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun.
- Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun.
- Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.
- Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun.
Kecenderungan meningkatnya keadaan patologis pada lansia menyebabkan peningkatan konsumsi obat sehingga memperbesar adanya risiko drug-related problems (DRPs) termasuk reaksi efek samping, interaksi obat, ataupun reaksi toksik (Chutka et al, 2004). Menurunnya kemampuan mendengar, melihat, dan mengingat pada lansia juga berperan dalam terjadinya DRPs, terutama pada pasien yang mendapatkan jumlah terapi obat yang banyak dengan regimentasi dosis yang bermacam-macam (polifarmasi). Begitu juga menurunnya kemampuan secara fisik dalam penggunaan obat secara benar seperti mudah bingung, gangguan keseimbangan dan gerak, serta menurunnya vitalitas tubuh (Fulmer at al, 2001).
DRP adalah pengalaman yang tidak diinginkan seseorang (pasien) ketika mendapatkan terapi obat dan secara potensial ataupun aktual dapat mempengaruhi outcome terapi yang diinginkan (Strand et al., 1990). Beberapa faktor yang meningkatkan risiko pasien lansia mengalami DRPs adalah perubahan komposisi tubuh, polifarmasi, dan ketidakpatuhan terhadap regimentasi pengobatan (Williams, 2000). Polifarmasi bisa disebabkan karena kecenderungan masyarakat yang melakukan upaya kesehatan di beberapa tempat sekaligus. Pada era pelayanan e-farmasi apoteker harus memastikan informasi obat yang disampaikan sudah diterima dan dimengerti oleh pasien. Pelayanan e-farmasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pembahasan
Apoteker adalah tenaga profesional yang turut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan terutama dalam hal penyediaan obat-obatan dan penggunaannya. Tanggung jawab tersebut dimaksudkan untuk memastikan penggunaan obat oleh masyarakat tepat indikasi, efektif dan aman. Dalam kaitannya dengan kompleksitas permasalahan penggunaan obat pada lansia, berbagai upaya diperlukan untuk dapat menjamin keefektifan dan keamanan penggunaan obat. Untuk itu terlebih dahulu diperlukan identifikasi problem secara terstruktur agar dapat merancang pelayanan yang sesuai dan berkualitas untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.
Pengelolaan obat merupakan satu aspek manajemen yang penting, oleh karena ketidakefisiensinya akan memberi dampak yang negatif terhadap saranakesehatan baik secara medis maupun ekonomis. Pengelolaan obat meliputi tahaptahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian serta penggunaan yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada (Indrawati dkk, 2001).
Pengelolaan obat adalah tahapan kompleks yang terdiri dari beberapa proses yang dilakukan. Pengelolaan obat merupakan suatu proses yang rumit melibatkan pemilihan obat yang benar sehingga dapat menjamin bahwa pasien dapat memperoleh dan menggunakan obat dengan benar serta mengevaluasi efek pada pasien. Pada Modul Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan, terdapat informasi pengelolaan obat secara rasional yang terdiri dari mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat. Modul ini digunakan untuk meningkatkan wawasan pengetahuan mengenai pengelolaan obat secara rasional di rumah tangga, dimana peserta terdiri dari ibu rumah tangga yang dapat bertindak sebagai pasien dan sebagai caregiver untuk anggota keluarga lain (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Pengelolaan obat meliputi tahap-tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian serta penggunaan yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Ketidak terkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada (Indrawati dkk, 2001). Menurut Quick, et all (1997), pengelolaan obat meliputi tahap seleksi, pengadaan, distribusi, dan penggunaan, yang didukung oleh manajemen organisasi, keuangan, informasi manajemen dan SDM. Setelah proses seleksi dan pengadaan logistik, tahap yang tidak kalah penting adalah proses penyimpanan dan distribusi obat sampai ke tangan pasien.
Manajemen obat dilakukan dalam empat tahap utama, yang saling terkait dan diperkuat oleh sistem pendukung pengelolaan yang tepat. Dari pemilihan obat kemudian pengadaan, penyimpanan dan distribusi, hingga akhirnya penggunaan obat. Dalam siklus manajemen obat ini diperlukan pula penunjang yang tepat meliputi pembiayaan, organisasi serta sumber daya manusia. Dalam kegiatan selection: Fungsi seleksi/ pemilihan obat dan perbekalan kesehatan adalah untuk menentukan obat dan perbekalan kesehatan yang digunakan benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
Proses penggunaan obat dimulai dengan penetapan diagnosis dan penulisan resep obat yang rasional (diagnosis, dosis, dan lama pemberian tepat, harga murah) oleh dokter. Dihindari peresepan yang tidak rasional (polifarmasi, penggunaan salah/tidak efektif). Selanjutnya petugas kamar obat atau apotek akan menyerah kan obat sesuai yang ditulis dalam resep kepada pasien. Yang perlu diperhatikan dalam kegiatan ini adalah pengemasan obat, pemberian label dan informasi kepada pasien tentang bagaimana cara pemberian obat & dosis sehingga akan membuat pasien patuh/taat dalam mengkonsumsi obat.
Menggunakan obat yang tidak tepat dapat berakibat buruk pada kesehatan pasien. Penggunaan obat yang baik didasarkan aturan yang disampaikan dokter atau apoteker. Karena tidak semua obat penggunaannya sama, bahkan hampir semua obat berbeda penggunaannya berdasarkan jenis dan kondisi pasien. Informasi yang menunjang dalam penggunaan obat secara rasional yaitu cara minum obat yang sesuai etiket atau brosur serta waktu minum obat sesuai yang dianjurkan, penggunaan obat bebas dan bebas terbatas yang tidak digunakan secara terus menerus, penghentian penggunaan obat bila tidak memberikan efek atau menimbulkan efek yang tidak diinginkan, serta memeriksa tanggal kadaluarsa (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Kesimpulan
Peran Apoteker dalam menentukan keberhasilan pemakaian obat yang tepat sangatlah besar. Apoteker harus memastikan penggunaan obat oleh masyarakat tepat indikasi, efektif dan aman. Dalam kaitannya dengan kompleksitas permasalahan penggunaan obat pada lansia, Pada era pelayanan e-farmasi apoteker harus memastikan informasi obat yang disampaikan sudah diterima dan dimengerti oleh pasien. Pelayanan e-farmasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pemberian informasi diantaranya PIO (Pemberian Informasi Obat), Edukasi,dan Konseling. Apoteker harus memperhatikan keadaan lansia dan memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan informasi obat kepada lansia yang, apoteker wajib memberikan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI 2008, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care), Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta
Depsos RI 2008, Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, viewed 06-09-2011, http://depsos.go.id.
Harman, JR (ed) 1990, Care of the Elderly, Handbook of Pharmacy Health-Care: Disease and Patient Advice, Pharmaceutical Press, London, pp. 405-408.
Fulmer, T, Kim, TS, Montgomery, K, Lyder, C 2001, „What the Literature Tell Us about the Complexity of Medication Complience in the Elderly‟, The American Society on Aging: 24(4),pp. 43-48.
Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, „Drug-Related Problems: Their Structure and function‟, DICP the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24, pp. 1094-1096.
Williams, BR 2000, CMELLC.com. viewed 19-11- 2011, Geriatric Times: http://www.cmellc.com/geriatrictimes/g000634.htm
Penulis :
Hafizah, Irfan Hardiansyah, Indri Sustia Rahmi, Intan Suci Maya Sari (Angkatan 28)
Dosen :
Apt. Diza Sartika, M. Farm
Prodi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi
Universitas Perintis Indonesia