Padang Expo
Jakarta sore itu berwarna jingga, bercampur debu dan riuh suara klakson. Di sebuah rumah kontrakan sederhana di Jatipulo, seorang pemuda baru saja menunaikan salat Ashar. Namanya Affan Kurniawan, 21 tahun, anak bungsu dari seorang ibu tunggal yang sudah lama ditinggal suami.
“Fan, makan dulu nak. Jangan buru-buru keluar,” suara sang ibu lembut memanggil dari dapur.
Affan hanya tersenyum kecil. “Nanti ya, Bu. Affan cuma sebentar keluar. Ada orderan dekat-dekat sini.”
Kalimat itu terdengar biasa, percakapan harian antara ibu dan anak. Namun siapa sangka, itulah percakapan terakhir mereka.
Hidup yang Dikebut Sejak Muda
Sejak ayahnya wafat, Affan sudah terbiasa menanggung beban keluarga. Ia menunda banyak mimpinya demi bisa membantu ibunya dan nenek yang sakit-sakitan. Jaket ojol hijau yang sudah pudar adalah saksi bagaimana ia berkeliling jalanan Jakarta, dari pagi hingga malam, demi sesuap nasi.
“Anaknya nggak pernah ngeluh. Selalu bilang, ‘yang penting Ibu nggak usah pusing soal makan’,” kenang seorang tetangganya.
Motor bebek tua yang setia menemaninya pun tak pernah benar-benar sehat. Tapi bagi Affan, itu cukup. Baginya, setiap kilometer adalah rezeki.
Senja yang Menghentikan Waktu
Senja itu, 21 tahun hidupnya berhenti di tengah riuh Jakarta yang gelisah.
Saat melintas dekat Gedung DPR/MPR, jalanan penuh demonstran. Asap, teriakan, dan suara peluit bercampur jadi satu. Affan bukan bagian dari massa. Ia hanya seorang pengantar rezeki, yang kebetulan harus mencari jalan alternatif.
Namun takdir bekerja dengan cara yang tragis. Motornya oleng di jalan basah, membuat tubuhnya terpelanting. Ia berusaha bangkit, tapi luka membuat langkahnya goyah.
Lalu, datanglah deru mesin baja: sebuah rantis Brimob melaju cepat. Massa berteriak memperingatkan, tapi waktu terlalu sempit. Affan hanya sempat berbisik, “Ya Allah, jaga Ibu…” sebelum tubuhnya dilibas roda raksasa itu.
Doa yang Tak Sempat Tersampaikan
Rekan-rekan ojol segera mengangkat tubuhnya, membawanya ke rumah sakit. Mereka berharap masih ada mukjizat. Namun di lorong putih yang dingin, napas Affan terhenti. Senyumnya membeku, meninggalkan duka panjang.
Di rumah duka, ibunya memeluk erat tubuh anak bungsunya yang terbujur kaku. Tangisnya pecah:
“Fan… kau belum sempat makan. Kau belum sempat pulang…”
Sahabat-sahabat sesama ojol berdiri dengan mata sembab. Mereka tahu, bukan hanya seorang teman yang hilang, tapi juga sebuah teladan sederhana: anak muda pekerja keras yang tak pernah menyerah.
Cahaya yang Padam, Kenangan yang Abadi
Jakarta malam itu masih sibuk. Asap demo mengepul, lampu jalan berkelip, dan suara kendaraan tak berhenti. Namun di sudut kota, satu cahaya padam untuk selamanya: cahaya seorang anak bernama Affan Kurniawan.
Ia pergi tanpa sempat menunaikan niat sederhana: membelikan kursi roda untuk neneknya.
Kini, bagi ibunya, setiap senja adalah pengingat. Bahwa pernah ada seorang anak yang berlari terlalu cepat untuk hidup, lalu berhenti mendadak di tengah jalan.
Bagi rekan-rekan ojol, Affan adalah pahlawan tak bernama—seorang pengingat bahwa di balik helm dan jaket hijau, ada wajah-wajah penuh mimpi yang tak kalah mulia dari siapa pun.
Mungkin, di langit sana, Affan kini sedang mengantarkan pesanan terakhirnya: sebuah doa agar ibunya tetap kuat, dan agar negeri ini tak lagi memakan anak-anaknya sendiri. (mond/red)




























