NAPZA merupakan akronim dari Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yang merupakan jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi gangguan kesehatan dan kejiwaan.
NAPZA secara umum merupakan zat-zat kimiawi yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh baik secara oral (diminum, dihisap dan dihirup) maupun disuntik dapat mempengaruhi pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Hal ini dapat menimbulkan gangguan keadaan sosial yang ditandai dengan indikasi negatif, waktu pemakaian yang panjang dan pemakaian yang berlebihan.
Masalah penggunaan Napza merupakan salah satu kontributor utama terhadap beban penyakit global yang berupa disabilitas dan mortalitas. Berbagai alasan yang menyebabkan seseorang melakukan penyalahgunaan Napza diantaranya sosial ekonomi, stresor , efek obat; relaks, peningkatan aktifitas, dan penghilangan mod depresi.
Secara statistik global, diperkirakan bahwa rata-rata 243 juta penduduk dunia yang berusia 15-64 tahun telah menggunakan obat terlarang terutama ganja, opioid, kokain, dan amphetamine-tipe stimulan (ATS) dengan angka kematian diperkirakan mencapai 20 juta pertahun (WHO, 2010). Di Indonesia, jumlah kasus penyalahgunaan Napza diperkirakan sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang atau sekitar 2,1 sampai 2,25 % dari total penduduk pada tahun 2013 (Kemenkes, 2014). Hasil proyeksi perhitungan kasus penyalahgunaan Napza menunjukkan peningkatan jumlah dari 4,1 juta pada tahun 2013 menjadi 5,0 juta pada tahun 2020 (BNN, 2014). Carter (2015) menemukan bahwa penggunaan marijuana telah mengalami peningkatan pada kalangan mahasiswa dan kelompok usia dewasa muda, dari 3,5 persen pada tahun 2007 menjadi 5,9% pada tahun 2014. Meskipun tingkat penggunaan Napza pada pria dan wanita bervariasi dari satu negara dengan negara dan dalam hal bahan atau obat yang digunakan juga bervariasi.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2014) menyatakan bahwa jumlah pria dua sampai tiga kali lebih besar dalam penyalahgunaan Napza dibandingkan wanita. Sementara itu, BNN (2014) mencatat bahwa kontribusi jumlah penyalahguna Napza terbesar berasal dari kelompok pekerja yang dikarenakan mereka memiliki kemampuan finansial dan tekanan kerja yang besar sehingga memiliki tingkat stress tinggi.
Berkembangnya upaya pencegahan dan pemulihan terhadap penyalahgunaan Napza, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak telah menyediakan fasilitas rehabilitasi untukpengguna Napza di berbagai daerah termasuk di Kota Banda Aceh. Upaya rehabilitasi ketergantungan obat bertujuan untuk membantu penyalah guna Napza agar dapat kembali ke tingkat fungsi tertinggi yang mungkin dicapainya (Stuart & Laraia, 2005).
Kegiatan rehabilitasi ketergantungan obat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan yang antara lain berupa program residensial baik residensial jangka panjang maupun residensial jangka pendek. Agar dapat mencapai keberhasilan dan keberlanjutan upaya rehabilitasi yang diprogramkan, maka perlu dipahami alasan yang mendasari penyalahguna Napza untuk melakukan residensial pada panti rehabilitasi ketergantungan obat. Diantara upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengalisis persepsi penyalahguna Napza tentang rehabilitasi ketergantungan obat. Pemahaman tentang persepsi yang menjadi penyebab penyahguna Napza ikut serta sebagai residen para panti rehabilitasi ketergantungan obat, dapat dilakukan melalui pendekatan aplikasi Health Belief Model (HBM).
HBM mengasumsikan bahwa keinginan seorang individu untuk melakukan tindakan pencegahan kesehatan tergantung pada limakomponen, yaitu perceived susceptibility (persepsi resiko/ kerentanan) terhadap penyakit tertentu, perceived severity (persepsi keparahan)penyakit, perceived benefits (persepsi manfaat) melakukan tindakan pencegahan, perceived barriers (persepsi hambatan) untuk melakukan tindakan pencegahan dan cues to action (panduan untuk bertindak) (Rosenstock, et al dalam Xianhong, et al, 2016).
Oleh:
Apriliani (1604126)
Ghina Fadhilla (1604056)
Mahasiswi STIFI Perintis Padang