Dilema Pokir DPRD, Diantara Penjemputan Aspirasi dan Menguras APBD

989
Wahyu Damsi Ketua DPD KPK Tipikor Sijunjung

| padangexpo.com

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga yang representasi bagi masyarakat. Tugas pokok anggota DPRD itu sendiri adalah memperjuangkan menampung/mengakomodir aspirasi rakyat untuk ditindaklanjuti pemerintah daerah.

DPRD itu sendiri merupakan sebuah terminal dalam multipartai politik yang terpilih melalui sistem dan mekanisme pemilihan legislatif.

Partai Politik itu sendiri memiliki wakil di parlemen serta mempunyai visi dan misi yang sama yaitu memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Adapun salah satu kewajiban bagi anggota DPRD tersebut dengan melakukan reses.

Istilah Pokir juga tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010, adalah salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat lima bulan sebelum ditetapkan APBD.

Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun  ini harus dibaca dan dipahami sebagai berikut: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Jadi hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah.

Hal ini karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian Pokir langsung kepada kepala daerah dalam hal ini Bupati (3) bahwa Pokir sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan.

Jadi Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah, dan (4) disampaikan paling lambat lima bulan sebelum APBD ditetapkan.

Dalam PP 16/2010 sudah sangat jelas dikatakan bahwa aspirasi masyarakat berbentuk Pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah.

BACA JUGA :  Menunggu Janji Politik Era Baru

Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi berbagai masalah yang akan muncul perihal Pokir DPRD.

Dijelaskan bahwa Pokir disampaikan paling lambat lima bulan sebelum APBD ditetapkan. Dalam praktek ditemukan ada perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Sementara pembahasan APBD hanya dua kali: pembahasan APBD (murni) dan APBD perubahan.

Ketentuan penyampaian Pokir DPRD selambatnya lima bulan sebelum penetapan APBD. Namun dalam prakteknya ketentuan ini sering dipandang sebelah mata oleh DPRD, karena sering usulan berupa Pokir masuk injury time ditetapkan APBD.

Sedangkan Reses adalah komunikasi anggota DPRD dengan konstituen di daerah pemilihan wilayah masing-masing yang dilakukan secara rutin sebelum berakhirnya masa sidang dan secara berkala.

Didalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pada pasal 161 huruf I, j dan k, disebutkan anggota DPRD mempunyai beberapa kewajiban yakni menyerap aspirasi para konstituen dengan melakukan kegiatan kunjungan kerja secara berkala, menampung serta menindaklanjuti pengaduan dan aspirasi dari masyarakat sekaligus memberikan pertanggungjawaban baik secara moral dan politis pada konstituen di daerah pemilihannya.

Kewajiban tersebut dilaksanakan oleh anggota DPRD untuk mengunjungi masyarakat di daerah pemilihan masing-masing yang nantinya akan diakomodir pada tingkat Musrenbang.

Namun, keluhan yang sering terjadi disaat masyarakat tersebut mengikuti kegiatan Musrenbang sering muncul alasan karena minimnya anggaran pemerintah daerah.

Akibatnya usulan yang disampaikan oleh masyarakat tersebut tidak bisa terakomodir meskipun usulan tersebut menurut masyarakat sangat prioritas. Maka dari itu, diperlukan peranan anggota DPRD untuk melakukan reses guna menyerap pokok pikiran yang ada ditengah masyarakat untuk bisa ditindaklanjuti agar bisa dibutuhkan masyarakat.

Jika dicermati apa yang tertuang didalam UU No 23 Tahun 2014, pada pasa 104 yang menyatakan bahwa sumpah anggota DPRD memperjuangkan aspirasi rakyat. Di ayat (3), disebutkan bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BACA JUGA :  Peranan Keluarga dalam Penanganan Penyalahgunaan Narkotika Bagi Anak Masa Remaja di Zaman Modern

Dalam Pasal 312 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah anggota DPRD tersebut menyampaikan usulan hasil pada reses untuk bisa dituangkan ke dalam RAPBD dalam bentuk pokok pikiran rakyat (Pokir).

Sesuai ketentuan dalam lampiran Permendagri No. 33/2019 tentang Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2020, DPRD menyampaikan pokok-pokok pikiran paling lambat satu minggu sebelum dilaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Untuk penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Apabila disampikan melewati batas seminggu sebelum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), pokir dewan tersebut akan dijadikan bahan masukan saat penyusunan perubahan RKPD sebagai dasar perubahan APBD tahun berjalan atau penyusunan RKPD berikutnya.

Didalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, yang harus dilakukan anggota DPRD tersebut terhadap pokok pikiran juga telah diatur didalam Permendagri No 86/Tahun 2017 tentang tata Cara Perencanaan Pembangunan yang telah tertuang dalam pasal 78 huruf (i) di dalam perencanaan awal melalui Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu tentang proses penelaaahan pokok pikiran DPRD.

Pokok pikiran yang menjadi amanat didalam peraturan perundang-undangan merupakan legal formal yang sah.

Jadi nantinya DPRD memiliki legal standing dalam mengusulkan dana Pokir tersebut. Sehingga Pokir yang diajukan oleh anggota DPRD tidak langsung diterima oleh Kepala Daerah, namun akan disesuaikan dengan prioritas pembangunan yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Dana Pokir wajib dikawal dan dilaksanakan sebaik mungkin sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

DPRD sebagai lembaga repsentasi bagi masyarakat bisa bekerja sesuai dengan Tupoksi yang berdasarkan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Dan yang harus diingat, DPRD mempunyai kewenangan yang dimilikinya tidak akan ikut campur dalam realisasi program proyek pokir, namun lebih berwenang untuk mengawal, agar program pokok pikiran yang dihasilkan dapat terlaksana sesuai dengan harapan masyarakatnya.

BACA JUGA :  Mau Bebas Kacamata? Simak Rincian Biaya LASIK Mata Terbaru Tahun Ini!

Jika hal ini dilakukan, DPRD mengawal dana pikiran rakyat tersebut serta mengawasi jalannya program yang diadakan, maka semua anggota DPRD akan membanggakan bagi stakeholder sebagai wakil rakyat.

Sebab sudah banyak kasus yang ditangani oleh lembaga penegak hukum karena anggota dewan yang ikut campur tangan terlalu dalam dengan dana pokir ini.

Contohnya dana pokir yang ada di DPRD Madura Tahun 2017-2018 setiap tahun anggota DPRD Kabupaten Sampang memperoleh anggaran sebesar Rp 1,3 miliar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dapil masing-masing. Namun, anggaran tersebut sering jadi bancakan.

Jika ada pekerjaan pokir yang diletakkan di lahan milik pribadi dan untuk kebutuhan pribadi, maka hal itu sangat menyalahi aturan.

Tidak boleh dewan itu melaksanakan kegiatan fisik sendiri.

Posisi DPRD dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah memiliki posisi strategis dan menentukan keberhasilan dan kegagalan pembangunan daerah.

Sedangkan untuk Pokir, anggota DPRD bukanlah sebagai ‘Pemilik’program pokir. Pelaksanaan pokir berada di tangan Pemerintah Daerah pada masing-masing OPD, begitu juga pertanggungjawaban pokir pun berada di OPD Pemerintah, bukan di DPRD atau anggota DPRD.

Pemerintah bersama OPD harus bisa tegak lurus, sebab pertanggungjawabannya dan resikonya besar apabila terjadi penyelewengan.

Begitu juga dengan para penegak hukum yang bertujuan untuk mewujudkan penegakan hukum yang tegas serta memberikan rasa kenyamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat, jangan pandang bulu dan harus mengusut tuntas apabila terdapat penyelewengan, sebab dari hal tersebut masyarakat melihat apakah penegak hukum bisa menegakkan hukum yang baik, tidak tumpul keatas dan tajam kebawah.**